Surabaya, mediarakyatdemokrasi.com- Heboh, postingan ketua Ansor Jatim di media sosial terkait pemotongan dana Hibah Gubernur 50%, berikut isinya :
Mengintip Jaringan Rente di Balik Skandal Senyap Dana Hibah di Jawa Timur
Dana hibah pemerintah yang semestinya menjadi berkah, di lapangan justru berubah menjadi ladang rente. Fakta ini bukan sekadar rumor.
Sejumlah pengurus masjid dan pondok pesantren di Jawa Timur terutama di wilayah Madura, membuka tabir praktik kotor yang melibatkan oknum-oknum yang mengaku sebagai “orang dekat Gubernur”.
Beberapa pengurus masjid dan pesantren di Sumenep misalnya, mengungkapkan, pada 2023 lalu mereka menerima hibah gubernur senilai Rp 200 juta hingga Rp 300 juta.
Namun, dana yang semestinya bisa digunakan penuh untuk pembangunan ternyata dipangkas secara paksa.
“Begitu cair, kami diminta menyetor kembali 30 sampai 50 persen. Kalau tidak, ada ancaman bantuan berikutnya tidak akan turun,” ungkap salah seorang pengurus lembaga, yang meminta namanya dirahasiakan demi keamanan dan kenyamanan.
Tidak berhenti di situ, para penerima hibah juga tidak diperbolehkan mengelola pembangunan secara mandiri.
Mereka diwajibkan menggunakan jasa CV tertentu yang sudah ditunjuk oleh penyalur hibah. Misalnya CV Galvalum Madura.
Dengan begitu, aliran dana benar-benar terkunci dalam kendali jaringan rente yang seolah punya legitimasi resmi.
Dari informasi yang dihimpun, praktik ini dijalankan oleh seorang penyalur asal Sumenep berinisial UBD. Para penerima diminta menyerahkan potongan dana kepadanya.
Uang tersebut kemudian diteruskan kepada FR di Pamekasan, sebelum akhirnya mengalir ke seseorang berinisial A/R di Surabaya.
Setelah itu, tidak jelas lagi ke mana dana bermuara apakah berhenti di tangan pribadi atau mengalir lebih jauh, semuanya masih gelap. Skema “setor berjenjang” ini jelas bukan pungutan liar biasa.
Polanya terstruktur, seolah ada restu besar di belakangnya, meski bisa jadi hanya permainan segelintir orang yang lihai memanfaatkan nama pejabat.
Beberapa lembaga yang disebut-sebut menjadi korban antara lain: Ponpes Misbahul … Ponpes Darul … Ponpes Da’watul … Masjid Baitus … .............(dan tentu masih banyak lagi) Itu pun baru sebagian kecil.
Indikasinya, praktik serupa juga terjadi di banyak lembaga lain di berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur. Padahal, dana hibah ini sejatinya bukanlah “uang gratis” dari pemerintah.
Anggaran hibah bersumber dari keringat rakyat: pajak yang dipungut setiap bulan, hingga pendapatan lain yang seharusnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat.
Artinya, setiap rupiah yang dipotong paksa itu sejatinya adalah perampokan atas hak publik. Bahaya paling serius dari praktik ini adalah rusaknya reputasi pemimpin daerah.
Nama Gubernur Jawa Timur kerap dibawa-bawa, seakan-akan semua pemotongan dilakukan atas restu beliau. Padahal, jika benar Gubernur tidak tahu menahu, maka ini adalah bentuk pengkhianatan serius.
Wajah kepemimpinan daerah bisa ternodai hanya karena ulah “makelar hibah” yang rakus. Lebih memilukan lagi, objek "korupsi" ini adalah masjid dan pondok pesantren, tempat ibadah dan pusat pendidikan agama.
Dana yang seharusnya menjadi amal jariyah justru diperlakukan sebagai komoditas dagangan. Skandal ini tentu tidak bisa dibiarkan.
Bukan hanya karena menyalahgunakan uang negara, tetapi juga karena menyangkut kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah.
Hibah adalah amanah, dan setiap rupiah yang dialokasikan seharusnya sampai utuh ke penerima. Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin hibah hanya akan menjadi “ladang bisnis baru” bagi jaringan rente politik.
Jalan satu-satunya adalah mengusut tuntas siapa saja yang bermain, menelusuri ke mana aliran dana, dan menindak tegas tanpa pandang bulu.
Postingan Safril ini banyak mendapat dukungan dari warganet lewat kolom komentar. Bahkan ada yang mengungkap hal serupa terjadi di Blitar.
“Fakta, di blitar baru kemarin terjadi, dan mungkin hari ini proyek hibah ini bergulir untuk pembangunan gedung madrasah ma’arif. Nilai nya persis 200jt, dan hanya diterima 130jt,” tulis akun Ikhwanudin Mohammad.
“Lanjut gusss, gasss bongkar,, yg ku dengar dari penerimanya di kediri dan di malang juga sama,, padahal hibah untuk sekolah dan untuk pondok, masih dipotong, bilangnya fee untuk pemberi jalan.. LPJ dibuat NOL agar tampak uangnya benar benar habis..” imbuh akun Aniev Rahysa.
“Kok bisa setega itu ketua? Usut ketua, laporkan. Saya bersama ketua. Satu komando,” sambar akun Adam Ma'rifat.
“Kok kayak tidak asing dengan inisialnya...semoga dugaan saya salah,” imbuh akun Dewi Nurhasanah.
Tapi ada juga yang mempertanyakan perubahan inisial.
“Tadi inisial FD, kok berubah jadi FR. Yg benar yg mana, ketua Musaffa Safril,” tulis akun Abdul Hady Jm.
Gus Safril menjawab, “Orangnya request agar dirubah dikit.”
Abdul Hady Jm kemudian menimpali, “Berarti ada reguest juga soal penambahan frasa "... A/R di Surabaya..." (rd/bmj)