Surabaya, mediarakyatdemokrasi.com- Pasca kemarahan rakyat saat demo pada 25 Agustus lalu, yang mengakibatkan banyaknya kerusakan fasilitas umum hingga gedung negara Grahadi yang diakui sebagai cagar budaya, kini besaran tunjangan perumahan anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jawa Timur telah menjadi sorotan publik karena dianggap menjadi salah satu pemicu terjadinya peristiwa yang menjadi catatan buruk selama beberapa dekade.
Berdasarkan catatan rakyat demokrasi, pasca terjadinya peristiwa memilukan tersebut, dua Badan/lembaga yakni Inspektorat dan Bakesbangpol yang dianggap kurang signifikan sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam hal pengawasan dan pencegahan, kini sorotan juga pada perilaku Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang terkesan kurang gentle dalam mempertanggung jawabkan aturan yang telah ditekennya dalam hal ini Surat Keputusan (SK) besaran tunjangan Perumahan Anggota dan pimpinan DPRD Jatim.
Seperti diketahui, besaran tunjangan anggota dan pimpinan DPRD Jawa Timur telah masuk dalam surat keputusan Gubernur Jawa Timur dengan nomor 188/30/KPTS/013/2023 Tentang Tunjangan Perumahan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur.
Dalam keputusan yang disahkan Khofifah pada 20 Januari 2023 itu, diatur tunjangan perumahan untuk anggota DPR masing-masing adalah Rp49.087.500, untuk Ketua DPRD Jatim senilai Rp57.750.000, sedangkan untuk Wakil Ketua DPRD sebesar Rp54.862.500 per orang.
Namun, setelah terjadinya peristiwa yang diketahui aksi demo masyarakat dengan ramai-ramai menyoroti tunjangan tersebut, Gubernur Khofifah saat ditanya oleh wartawan dianggap menepis atas keputusan yang di tandatanganinya tersebut.
"Sampean niki tanya tunjangan opo (anda ini tanya tunjangan apa)? Dewan yo dewan lah rek," kata Khofifah kepada awak media, Surabaya, Rabu (10/9).
Malahan, bola panas tersebut oleh Gubernur perempuan di Jatim yang juga sebagai pembina Muslimat NU tersebut diarahkan kepada kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
"Iki (ini) loh Pak Sigit, Pak Sigit, Pak Sigit di BPKAD. Pak Sigit saja. Kalau Dewan kan kebijakannya di Dewan lah," ujar mantan Menteri Sosial RI ini.
Sebelumnya juga, aktivis yang juga pimpinan Media Achmad Garad turut memberikan kritikan tajam.
"Beliau (Gubernur Khofifah) yang menandatangani keputusan, tapi seolah dilemparkan sana-sini. Ngapunten (maaf) kok kayak kurang gentle ya." Ujarnya dalam diskusi bersama LSM dan Pimpinan Media. Jum'at (12/09/2025).
"Ini berarti, surat keputusan yang dibuat tidak ada kekuatan hukumnya dong." Imbuhnya.
Kini, informasi terbaru Garad panggilan akrabnya akan segera melakukan kordinasi lanjutan dengan mengundang berbagai elemen masyarakat mulai dari aktivis, pemerhati, akademisi hingga para legal untuk membahas hal tersebut sebagai bentuk kepedulian anak bangsa dalam menyikapi dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur tersebut.
"Ini menurut saya patut diseriusi, karena jika tidak, bisa menjadi catatan buruk Khofifah selama memimpin Provinsi Jawa Timur." Ujarnya Senin. (16/09/2025).
Masih Garad. "Sebuah peraturan atau aturan yang dilengkapi dengan surat keputusan yang ditandatangani oleh Kuasa Pengguna Anggaran yang dikuati dengan aturan perundang-undangan, itu berarti kan sudah sah secara konstitusional, tapi ketika ada masalah tapi tidak berani mempertanggungjawabkan dan terkesan acuh atau malahan terkesan dilempar sana-sini, ini yang dinamakan dengan menabrak konstitusi, sangat bahaya sekali, apalagi ini kan uang rakyat yangmana sebagai seorang pemimpin wilayah untuk menjaga betul-betul, karena pertanggungjawabannya dunia akherat." Ungkapnya.
Disisi lain, ia menduga bahwa perilaku tersebut dapat berdampak signifikan dalam penyalagunaan wewenang dalam penggunaan APBD.
"Ini terusterang saya samakan dengan pelaksanaan Program OPOP yang saat ini masih saya ungkap, sama-sama ada Surat Keputusannya, dan diakui menggunakan APBD, tapi ketika ditanyakan siapa Kuasa Pengguna Anggaran hingga landasan aturan terkait OPD yang memberikan anggaran untuk program tersebut, mereka terkesan berbelit. Jadi inilah alasan saya, kenapa hal ini patut diseriusi, karena jika tidak, ya bisa jadi Provinsi Jawa Timur menjadi ladang bagi koruptor." Pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut dana transfer ke daerah selama ini kerap menjadi bahan bancakan untuk kebutuhan yang tidak perlu bahkan dikorupsi.
Untuk itu, efisiensi yang dilakukan pemerintah pusat penting untuk mencegah hal tersebut.
"Kalau sudah mau masuk APBD dibahas dengan DPRD, ada kemudian pokir-pokir (pokok pikiran), ada tarik-menarik antara kepala daerah dengan DPRD, untuk checks and balances oke, tapi kemudian kadang-kadang terjadi juga praktik-praktik yang maaf dalam tenaga politik, kolusi," kata Tito di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Tito menyebut praktik itu saat ini mudah ditemukan di banyak daerah. Bukan hanya transfer ke daerah, Tito menyebut, praktik bahan bancakan itu kerap dilakukan terhadap dana alokasi khusus.
"Contohnya banyak sekali kasus saya kira, beberapa daerah yang DPRD-nya bedol desa, seperti di Sumatera Utara beberapa hari lalu, Jambi, kemudian di Papua Barat, di Jawa Timur masih berlangsung, dan beberapa lagi daerah lain," kata Tito.
"Nah ini membuat, ada, mohon maaf dengan segala hormat, ada ketidakpercayaan penuh kepada daerah," tambahnya.
Untuk itu, Tito menyebut efisiensi yang dilakukan pemerintah sebetulnya untuk meminimalisir kondisi tersebut.
Pihaknya juga memberi masukan ke Kemenkeu bahwa transfer ke daerah jangan dipukul rata karena PAD tiap daerah berbeda.
"Nah itu yang kita berikan masukan kepada Kementerian Keuangan, jangan pukul rata, tapi yang daerahnya yang memang lemah dan perlu dibantu oleh pusat, kurangi sedikit, yang kira-kira sedang, karena PAD-nya cukup besar, boleh kurangin signifikan," ucapnya. (tim)