Surabaya, mediarakyatdemokrasi.com- Menelusuri program One Pesantren One Product Jawa Timur (OPOP Jatim) yang tidak diketahui adanya perbendaharaan selaku penerima aliran dana masuk sebagai pelaksanaan program berdasarkan Surat Keputusan Gubernur (SK) dan Peraturan Gubernur Jawa Timur (Pergub Jatim).
Media ini berupaya melakukan wawancara di Komisi E DPRD Jatim. Namun sayangnya, per tanggal 3 April 2023 hingga saat ini.
Surat yang dikirimkan kepada Ketua Komisi E atau yang mewakili belum mendapatkan respon secara resmi.
Bahkan saat didatangi di kantor DPRD Jatim jalan Indrapura Surabaya.
Menurut bagian TU yang diwakili oleh keamanan mengatakan bahwa seluruh anggota Komisi E tidak ada ditempat atau Dinas Luar (DL).
"Kata TU, mulai dari pimpinan hingga anggota dan staf Komisi E lagi DL ke Jakarta." Ujar keamanan DPRD Jatim. Selasa (16/05/2023).
Berdasarkan uraian yang dilontarkan oleh Achmad Garad selaku pimpinan MRD Grup, saat dilokasi mengatakan bahwa hal tersebut dianggap miris, karena dari total 24 orang mulai dari pimpinan hingga anggota komisi E, tak ada satupun yang stay di kantor untuk menerima pengaduan masyarakat.
"Masak tak ada satupun yang di kantor. Ngeriii?." Ungkap Achmad Garad saat di kantor DPRD Jatim.
Diberitakan beberapa waktu lalu di media ini. Masih mencari jawaban teka-teki siapakah bendahara OPOP Jatim yang sesungguhnya?
Mengingat dalam pemberian Surat Keputusan dan Peraturan Gubernur Jawa Timur tak satupun menyebut siapakah penerima anggaran yang didapat dari APBD atau darimana saja termasuk swasta dan bentuknya tidak mengikat.
Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan SK dan Pergub, OPOP ini ditujukan untuk pemberdayaan para santri atau alumni yang bergerak di bidang barang dan jasa, termasuk juga pembenahan atau revitalisasi pesantren yang dianggap kurang layak.
Namun ada fakta lain yang perlu diungkap yakni terkait pendanaan yang dirasa perlu adanya transparasi kepada publik.
Mengingat adanya temuan bahwa dugaan kuat pelanggaran aturan dalam realisasi program ini, dimana adanya temuan dalam pembelanjaan barang dan jasa pemerintah melalui APBD yang seharusnya di lakukan dengan mekanisme tender/lelang namun dipecah-pecah menjadi Pengadaan Langsung (PL).
Bukan hanya itu, proses penerimaan anggaran yang dikatakan kurang transparan, menimbulkan asumsi publik bahwa program ini mudah untuk dilakukan pencucian uang atau KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme).
"Masih ada datanya, saya punya. Yang terjadi pada sekitar tahun 2020an. Dimana ada narasumber mengadukan kepada kami. Dan jelas ia menunjukkan rincian pembelanjaan yang seharusnya di tender kan tapi dipecah-pecah menjadi PL." Ujar Achmad Garad selaku LSM yang berupaya mengungkap OPOP ini.
Masih Garad. "Sebenarnya program ini sangat bagus, cuman kalau dalam realisasinya ada pelanggaran. Ya ini kan bisa merusak tatanan program yang baik menjadi tidak baik, karena pemanfaatannya ini kan jangka panjang." Ungkapnya.
"Kita analogikan dengan ambil contoh masalah revitalisasi pondok. Tidak ada masalah dengan pembangunannya, tapi jadi masalah jika anggaran yang dipakai ini hasil dari manipulasi. Yang seharusnya mekanisme tender jadi PL. Padahal itu kan sudah melanggar aturan. Kalau dalam syariat Islam, berarti bisa jadi uang yang dipakai ini kan tidak halal. Sedangkan untuk pemanfaatannya sebagai belajar santri yang berharap belajar agama untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Mungkin para kyai atau ulama lebih paham dalilnya." Imbuhnya.
Tak hanya itu, sistem realisasi anggaran yang dianggap kurang transparan karena tidak disebutkan siapa pemegang aliran dana itu, juga menimbulkan asumsi publik yang sangat liar. Mengingat dana yang diterima darimana saja. Termasuk APBD atau CSR dari swasta.
"Kita analogikan lagi, terkait struktural di OPOP. Dimana ketuanya adalah Sekda. Kenapa bisa diasumsikan ada praktek KKN? Ya, semisal ini ya, saya sebagai kepala Dinas. Anggap saja ada kelebihan anggaran yang tidak terserap. Bisa jadi kita menghubungi Ketua OPOP, yang tidak akan diketahui karena dibelakang layar untuk membuat program. Itu bisa lebih mudah. Dan yang menjadi pertanyaan itu, andaikata ditemukan kejanggalan dalam audit di BPK. Bisa jadi tidak jelas siapa yang bertanggung jawab." Imbuhnya.
Maka dari itu, ia mencoba menelusuri siapakah sebenarnya bendahara OPOP Jatim ini, yang seharusnya penanggung jawab aliran dananya.
Ataukah dana masuk langsung ke Gubernur, ataukah langsung ke Sekda ataukah Dinas/OPD yang terdapat dalam SK kita tidak akan mengetahui, mengingat tak adanya penyebutan secara spesifik.
Namun, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jatim, terdapat nama Dinas Koperasi dan UKM Jatim.
Namun sayangnya, saat dilakukan konfirmasi terkait hal ini. Dinas Koperasi dan UKM Jatim hingga berita ini ditayangkan belum memberikan jawaban sama sekali, bahkan Kepala Dinasnya memblokir nomor WhatsApp, padahal sebelumnya sempat ber interaksi.
Disisi lain, dalam permohonan wawancara di Komisi E DPRD Jatim pun juga sama, belum memberikan waktu untuk diwawancarai.
Guna mempertanyakan pembuatan Pergub OPOP Jatim. Mengingat di Komisi ini kan yang membidangi. (Tim)