Jakarta, mediarakyatdemokrasi.com- Konflik kepentingan (Conflict of Interest/COI) seringkali dianggap sepele, padahal ia adalah gerbang awal terjadinya korupsi dan berbagai penyimpangan dalam administrasi publik.
Seperti bayangan yang senyap mengikuti langkah, COI menyelinap di berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan, dan jika tidak dikelola dengan benar, dapat merusak integritas birokrasi hingga memicu tindak pidana korupsi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ibnu Basuki Widodo, dengan tegas mengingatkan bahwa COI bukan sekadar isu etika, melainkan akar penyalahgunaan kekuasaan.
“Konflik kepentingan adalah akar korupsi dan banyak penyimpangan dalam administrasi publik. Pengendalian konflik kepentingan menjadi isu strategis yang mendesak. Bahkan, praktik seperti ‘bisik-bisik’ saat proses mutasi jabatan pun bisa tergolong sebagai COI,” ujar Ibnu saat membuka Lokakarya Pencegahan Konflik Kepentingan di Sektor Publik Tahun 2025 pada Selasa (3/6).
Ibnu menyoroti masih lemahnya kesadaran akan potensi COI di lingkungan birokrasi.
Ia menyayangkan banyaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pejabat publik yang tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam situasi konflik kepentingan.
"Konsep ini belum diinternalisasi sepenuhnya. Padahal, laporan Transparency International tahun 2020 menyebut, 60% kasus korupsi berakar dari konflik kepentingan,” jelasnya.
Senada dengan KPK, Menteri PANRB Rini Widyantini menekankan bahwa integritas tidak cukup hanya diajarkan melalui aturan, tetapi harus menjadi bagian dari keseharian birokrasi.
“Konflik kepentingan itu seperti bayangan tidak selalu jelas tapi nyata. Etika birokrasi harus hidup, tidak cukup hanya ditulis di atas kertas. Ini bagian dari mandat reformasi birokrasi,” ujarnya.
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi KemenPAN-RB, Erwan Agus Purwanto, juga mengakui bahwa implementasi pengelolaan COI masih menjadi pekerjaan rumah besar, dengan 52% responden Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK tahun 2023 menyatakan COI masih sering terjadi. (rd/aj)