..
Mahfud MD Sebut, Media Mainstream Tak Dibiayai Negara Sehingga Kewalahan Dengan Media' Yang Liar
Plt Menkominfo Mahfud MD memberikan keterangan kepada wartawan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/5/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Mahfud MD Sebut, Media Mainstream Tak Dibiayai Negara Sehingga Kewalahan Dengan Media' Yang Liar

Jakarta, mediarakyatdemokrasi.com- Menko Polhukam Mahfud MD bicara tantangan media massa mainstream di era media sosial.

Mahfud mengungkapkan, media mainstream saat ini sedang kesulitan ekonomi karena menghadapi persaingan dengan media sosial (medsos) dengan akun-akun gelapnya.

"Kemarin saya rapat dengan beberapa tokoh, di Indonesia ini legislatif, eksekutif, yudikatif, itu dibiayai negara, tapi pers tidak. Sehingga sekarang banyak pers yang kewalahan menghadapi media-media liar," ucap Mahfud dalam seminar 'Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024' di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (23/5).

Mahfud menyebut saat ini banyak akun-akun gelap di medsos yang jadi tempat bermain buzzer. Sampai akhir 2022, ada 800 ribuan akun. Sementara media mainstream sekitar 1.000 di Indonesia.

"Kalau media mainstream itu yang kita miliki, itu yang ada penanggungjawabnya kalau ada kesalahan dia yang minta maaf dan bisa meralat. Itu kita miliki 1.000 (media) di Indonesia ini," ucapnya.

"Mungkin sekarang nambah, tapi saya ragu nambahnya cukup banyak karena sekarang susah untuk menghidupi, malah banyak yang mati. Media mainstream kita punya 1.000, misal TV daerah, koran daerah, TV dan koran pusat," imbuhnya.

Karena persaingan dengan medsos dengan akun-akun gelapnya itu, maka kata Mahfud, media mainstream ada yang bermain clickbait yaitu membuat judul sensasional agar diklik.

"Sehingga kalau kita perhatikan sekarang ini, kalau kita rasakan, media mainstream itu sekarang lemah. Karena modal dan yang baca sudah tidak baca. Yang hidup pun sudah banyak yang memihak, punya afiliasi politik." Ungkap Mahfud MD.

Meski begitu, Mahfud menyebut kondisi pers saat ini sudah jauh lebih bebas dibandingkan era otoriterisme dulu saat pers dipasung. Dulu ada pembredelan, kemudian istilah bredel dihilangkan tapi di-blackout, tidak boleh beredar.

"(Media) Ditelepon, ada berita ini jangan muat dulu. Dipasung, enggak boleh. Sehingga waktu itu jurnalisme warga mulai muncul, masyarakat buat berita sendiri dari mulut ke mulut dalam bentuk humor, sindiran, dan sebagainya. Itu pun berbahaya karena ada yang sampai hilang, diculik, ditahan dan sebagainya," kata Mahfud.

Saat ini, di era reformasi ini pers bebas. Ketentuan UU bahwa pers harus punya surat izin penerbitan pers sudah dicabut. Siapa saja bisa buat media asal tanggung jawab secara hukum karena pelanggaran terhadap pemberitaan sudah ada hukum pidana.

"Kita gembira masyarakat bebas, pers bebas. Tapi kemudian kalau kita lihat sekarang ini, pers itu sudah lemah secara ekonomi, tapi juga orientasinya oligarkis." Ujar Mahfud MD.

Mahfud menjelaskan soal media di pemilu punya kecenderungan mendukung salah satu kandidat. Dalam hal ini, preferensi pemilik modal juga sangat berpengaruh pada sikap dan pemberitaan media.

"Jadi kalau mau lihat pendukung A, lihat TV ini. Kalau mau lihat pendukung B, lihat TV itu. Hampir semuanya itu punya afiliasi dan ini yang banyak disayangkan oleh para pejuang-pejuang demokrasi. Kenapa bisa sampai begini? Bukannya pers itu pilar keempat demokrasi, tapi sekarang dikuasai oligarki," beber Mahfud.

Mahfud menyebut untuk menghadapi persaingan media mainstream dengan media sosial dalam platform global, pemerintah sedang menyiapkan aturan yang disebut publisher rights.

"Sekarang pemerintah sedang siapkan juga peraturan tentang publisher rights," ucap Mahfud.

Di antara tujuannya adalah untuk menjaga hak media sebagai pemilik konten. Sebab banyak akun yang memuat konten dari media mainstream demi dapat uang.

"Sehingga semuanya berebutan melanggar hak dan memperkosa pikiran orang yang buat berita aslinya. Itu juga banyak sekarang ini," kata Mahfud.

"Semua itu sudah berjalan melenceng dari nilai-nilai yang dibangun. Media massa itu berbeda dengan media sosial. Di mana tadi saya katakan media sosial itu adalah yang tidak bertanggung jawab yang ditujukan untuk mencari uang dan mencari isu untuk menjatuhkan lawan politik," imbuhnya.

Media mainstream, kata Mahfud, punya tanggung jawab memberikan literasi kepada publik. Dia juga mendorong agar media punya gagasan konstruktif. Begitu halnya yang harus juga dilakukan di medsos.

"Bagaimana kita menyikapi media massa dan media sosial agar punya gagasan, punya upaya konstruktif atas masalah bangsa, dan bukan membesar-besarkan masalah tapi tidak beri solusi," pungkasnya.

Jokowi Dorong Publisher Rights

Soal publisher rights, Presiden Jokowi sudah mendorong adanya penataan ekosistem industri pers agar tak kalah berkompetisi dengan platform global.

Jokowi menekankan pentingnya regulasi tentang hak cipta jurnalistik atau publisher rights.

Hal itu disampaikan Jokowi saat menutup rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2022 yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara.

"Ekosistem industri pers harus terus ditata, iklim kompetisi yang lebih seimbang harus terus diciptakan perusahaan platform asing harus ditata, harus diatur agar semakin baik tata kelolanya. Kita perkuat aturan bagi hasil yang adil dan seimbang antara platform global dan lokal," ujar Jokowi dalam sambutannya di acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2022, Rabu (9/2). (Mrd/Kumparan)

Sebelumnya Setelah Bos Kapal Api Diperiksa, Esok Bos Maspion Rencananya Menghadap KPK
Selanjutnya Pernyataan Lionel Messi Yang Rencananya Bakal Melawan Timnas Indonesia, Dalam Lawatan Tour Asia 2023