Sidoarjo, mediarakyatdemokrasi.com- Rumah Sakit Umum Sidoarjo sisi barat Krian menjadi guneman warga, mengingat diduga kuat Rumah Sakit tersebut tak mempunyai saluran air/selokan yang menampung air hujan atau bahkan bisa jadi limbah cair Rumah Sakit.
Hal itu seperti diungkap oleh narasumber di lapangan. Bahwa diduga kuat, saluran air/selokan Rumah Sakit yang lokasinya dibawah pintu masuk utama bekas warung yang digusur (sisi barat) berbatasan dengan jalan raya Bibis Bunder tak ada terusannya alias buntu.
Sedangkan untuk mengarah ke Selatan terbentur dengan tembok Ruko (Rumah Toko).
Saat di lokasi pun, terdapat juga saluran air mengarah ke Utara lalu masuk ke Timur (menyiku ke belakang Rumah Sakit), yang mengarah ke Sawah warga biasanya dipergunakan sebagai irigasi.
Namun dikarenakan terdapat aliran air yang diduga dari Rumah Sakit, sehingga sawah tersebut tampak seperti rawa-rawa yang akhirnya tidak dapat ditanami.
Lantas, seperti apa sih sejarah dibangunnya Rumah Sakit yang kini menjadi Rumah Sakit Umum Sidoarjo Barat tersebut?
Redaksi media rakyat demokrasi berupaya mencari dari berbagai sumber, termasuk melalui mesin pencarian Google.
Hingga akhirnya menemukan artikel dari Jawapos.com dengan judul "Debat Hebat Pemkab-DPRD Terkait Pembangunan RSUD Sidoarjo Barat" yang tayang pada 29 Juli 2019.
Dalam uraian pemberitaan tersebut dimana gagasan pembangunan RSUD Sidoarjo Barat muncul sebelum pasangan Saiful Ilah-Nur Ahmad Syaifuddin memimpin Sidoarjo sebagai bupati dan wakil bupati.
Pada 2014, DPRD telah merekomendasikan pembangunan fasilitas kesehatan tersebut.
Ada dua pertimbangan.
Pertama, mendekatkan pelayanan. Warga wilayah barat harus berobat ke rumah sakit swasta. Biayanya tidak murah. Pasien yang nekat menempuh perjalanan jauh ke RSUD Sidoarjo di tengah kota.
Kedua, mengurangi antrean di RSUD Sidoarjo. Setiap hari jumlah pasien membeludak. Pasien datang dari Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, dan daerah-daerah lain.
Kepala Desa Sidomulyo, Krian, Kunadi pernah merasakan dampaknya. Kala itu, ada warga yang sakit keras. Pemerintah desa memutuskan mengantarnya ke RSUD Sidoarjo. Sayangnya, takdir berkata lain. Belum sampai di RSUD, ajal sudah menjemput.
”Karena jaraknya jauh ditambah macet. Warga saya meninggal di perjalanan,” keluh Kunadi.
Setelah terpilih menjadi kepala daerah, pasangan Bersinar (Saiful-Nur Ahmad) berencana membangun RSUD Sidoarjo Barat.
Program itu masuk visi-misi dan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Desa Tambak Kemerakan, Krian, ditetapkan sebagai lokasi. Luas lahan 5 hektare.
Masalah muncul saat pembahasan anggaran pembangunan. Pemkab mengajukan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Sistem anyar itu digagas pemerintah pusat. Sebagai langkah percepatan pemenuhan infrastruktur. Termasuk kesehatan.
Namun DPRD punya pendapat lain. Yaitu, memakai dana APBD. Para wakil rakyat yakin pemkab mampu membangun sendiri. Total kebutuhan anggaran hanya Rp 250 miliar.
Tidak sampai separo kekuatan APBD Sidoarjo yang mencapai Rp 5 triliun.
Dalam pembahasan APBD 2019, perdebatan pun terjadi. Pemkab kukuh memakai KPBU. DPRD menolak. Pemkab diminta tetap memakai APBD.
Alokasi anggaran pun disediakan. Tahun pertama Rp 125 miliar. Tahun kedua direncanakan Rp 125 miliar lagi.
Namun, kisruh ternyata berlanjut. Pemkab kembali mengajukan KPBU. DPRD enggan membahas. Hingga saat itu RSUD belum dibangun.
Karut-marut itu meresahkan. Hingga pada 22 Juli, perwakilan warga menggelar aksi di lahan RSUD Sidoarjo Barat. Tiga kain rentang ditancapkan. Spanduk itu mendesak pemkab menepati janji. Segera membangun RSUD Sidoarjo Barat.
”Janji pemkab harus terealisasi,” ujarnya.
Kapan RSUD itu terwujud? Kunadi dan Wulyono minta bukti.
Bupati Yakin KPBU
Pemkab dan DPRD Sidoarjo sudah bersepakat. Pembangunan RSUD Sidoarjo Barat harus berjalan.
Perselisihan soal skema pembiayaan melempar kedua penyelenggara pemerintahan di daerah itu dalam perdebatan panjang.
Sama-sama tidak mau mengalah. Bupati Saiful Ilah berpendapat, KPBU merupakan sistem yang paling pas untuk membangun RSUD Sidoarjo Barat.
Mengapa? Sebab, pemkab tidak perlu pusing menyediakan seluruh kebutuhan. Mulai anggaran, sumber daya manusia (SDM), sampai alat kesehatan RSUD.
Menurut dia, pemkab sejatinya mampu membangun RSUD. Tetapi sebatas mendirikan gedung.
’’Kalau memenuhi SDM dan mengelola, kami tidak mampu,’’ ucapnya.
Menurut Saiful, pembangunan RSUD lebih baik dipasrahkan kepada pihak ketiga karena lebih cepat.
’’Anggaran APBD digunakan untuk kebutuhan yang lain,’’ jelasnya.
Pemkab juga sudah menjalin kesepakatan dengan pemerintah pusat. Isinya, pembangunan RSUD Sidoarjo Barat menggunakan sistem KPBU.
’’Tidak bisa tiba-tiba dibatalkan,’’ ujarnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Ari Suryono menyebutkan sejumlah keuntungan KPBU.
Selain lebih cepat, daerah terhindar dari risiko RSUD gagal bangun. ’
’Karena langsung mendapatkan perhatian dari pemerintah,’’ ucapnya.
Pelayanan RSUD tetap ditangani pemkab. Sebab, RSUD akan dipimpin pejabat pemkab. Penentuan tarif juga melibatkan pemkab.
’’Sehingga tidak memberatkan warga,’’ jelasnya.
Dewan Ingatkan Aturan Argumentasi pemkab belum cukup meyakinkan para legislator di DPRD. Wakil Ketua DPRD kala itu Taufik Hidayat Tri Yudono justru menangkap sejumlah kelemahan KPBU.
Menurut dia, sistem itu masih baru. Belum ada satu pun daerah yang mengalokasikan KPBU total untuk membangun RSUD. Mulai penyediaan anggaran, pemenuhan SDM, hingga pengelolaan.
Dia juga mengingatkan soal regulasi. Sistem KPBU dianggap bertabrakan dengan dua aturan. Pertama, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit.
Dalam pasal 20 ayat 3, regulasi itu menyebut rumah sakit publik, yaitu rumah sakit yang diselenggarakan dengan BLUD.
Dipertegas di ayat 4 yang berbunyi rumah sakit yang dikelola pemda tidak boleh dialihkan menjadi rumah sakit privat.
Aturan kedua ialah Permenkes 56/2014.
Taufik menuturkan, dalam pasal 4, rumah sakit yang didirikan dan diselenggarakan pemerintah harus berbentuk UPTD.
’’KPBU jelas menyalahi aturan,’’ tegasnya.
Taufik yakin APBD Sidoarjo sangat mampu membiayai pembangunan RSUD. Dia menambahkan, sudah menjadi kewajiban pemkab memenuhi fasilitas kesehatan.
’’Kalau mampu, mengapa harus KPBU,’’ tegasnya.
Ketua DPRD Sidoarjo yang kala itu Sullamul Hadi Nurmawan mengatakan, dua sistem itu memang bisa digunakan. APBD Sidoarjo sangat mencukupi, sedangkan KPBU merupakan terobosan pembangunan.
Namun, lanjut dia, saat ini pemakaian KPBU tidak tepat.
’’Kondisi keuangan pemkab sedang berlebih. APBD Rp 5 triliun. Silpa Rp 1,028 triliun,’’ paparnya.
Menurut dia, wajar jika dewan tetap menolak KPBU.
Sama-Sama Kukuh, tanpa Titik Temu
Versi Pemkab Sidoarjo
Pembangunan dengan skema KPBU memudahkan pemkab.
APBD bisa digunakan untuk kebutuhan lain.
Rumah sakit tetap dikelola pemkab karena pimpinan RS dari pemkab.
Tidak berutang Rp 1,9 triliun, tetapi membayar pelayanan selama 10 tahun.
Tarif pelayanan ditentukan pemkab.
Dapat pemasukan sejak awal berdiri.
Versi DPRD Sidoarjo
APBD Sidoarjo Rp 5 triliun sangat cukup untuk membangun RSUD Sidoarjo Barat.
Kebutuhan anggaran pembangunan ’’hanya’’ Rp 250 miliar.
Sidoarjo mampu mencukupi kebutuhan SDM dan peralatan RSUD. Buktinya, RSUD Sidoarjo yang berstatus tipe B menjadi rujukan daerah lain.
Pemkab berutang Rp 1,9 triliun. Setiap tahun membayar Rp 197 miliar ke pihak swasta.
Skema KPBU melanggar regulasi karena pengelolaan rumah sakit diserahkan ke swasta.
Bertentangan dengan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit.
Tidak sesuai Permenkes 56/2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Rumah sakit yang diselenggarakan daerah berbentuk UPTD.
Keuangan dikelola BLUD.
Sumber: Pemkab dan DPRD Sidoarjo Pilih KPBU atau APBD?
Kelebihan KPBU
Tahap lelang sampai pemenang tender dikerjakan fasilitator.
Seluruh kebutuhan anggaran, tenaga, maupun peralatan ditanggung konsorsium pemenang lelang.
Pemkab tinggal menunggu pembangunan tuntas.
Direktur dijabat orang yang bertanggung jawab kepada bupati. Kekurangan KPBU Rumah sakit daerah dikelola swasta.
Pemkab harus membayar utang selama 10 tahun. Total Rp 1,9 triliun.
Tidak cocok digunakan kabupaten/kota yang memiliki APBD besar. APBD Sidoarjo saat ini Rp 5 triliun. Silpa Rp 1,028 triliun.
Kelebihan APBD
Pembangunan berjalan lebih cepat karena anggaran tersedia. (APBD 2019 Rp 125 miliar dan APBD 2020 Rp 125 miliar) Pemkab bebas mengatur pembangunan.
Rumah sakit dikelola mandiri oleh pemkab.
Tarif rumah sakit ditentukan pemerintah daerah. Kekurangan APBD Pemkab harus menyediakan seluruh kebutuhan. Termasuk tenaga medis dan peralatan kesehatan.
Berdasarkan hal itu, sebenarnya media ini sempat mengkonfirmasi kepada Ketua DPRD yang kini dijabat oleh H Usman atas polemik antara Pemkab dan DPRD kala itu melalui nomor WA nya, namun tidak dijawab.
Kini, Rumah Sakit telah berdiri dan beroperasi kurang lebih hampir setahun, dengan meninggalkan kesan yang antara lain penggusuran warung dipergunakan sebagai pintu masuk utama, dan kini terkait kurangnya fasilitas saluran air kotor/selokan bahkan pembangunan Rumah Sakit tersebut juga terkena pinalti karena melebihi deadline tender. (red)
Artikel ini sebagian isinya melansir dari jawapos.com yang berjudul "Debat Hebat Pemkab-DPRD Terkait Pembangunan RSUD Sidoarjo Barat"