Sidoarjo,mediarakyatdemokrasi.com- Persoalan penggusuran warung di jalan Bibis Bunder Tambak Kemerakan Krian Sidoarjo, yang rencananya akan dibuat untuk jalan utama pintu masuk RSUD Sisi Barat, yang dilaksanakan pada 12 Agustus 2021 lalu, hingga saat ini warga/pemilik warung yang terdampak belum mendapatkan realisasi tuntutan apapun, padahal warga telah menduduki berpuluh puluh tahun yang lalu dan mempunyai surat IPEDA tahun 1985, Surat Gambar Situasi (GS) dan 5 dari 10 warung yang digusur mendapatkan SK dari BPN Sidoarjo terkait persetujuan untuk menjadi surat hak milik (SHM) pada tahun 2001.
Namun, hal itu seolah tak membuat pihak pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk dijadikan pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam melaksanakan penggusuran tanpa ada realisasi tuntutan yakni ganti rugi sesuai aturan yang ada, padahal warga tidak menolak sama sekali adanya pembangunan Rumah Sakit tersebut.
Sebagai tugas dan fungsinya sebagai control sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat Gabungan Rakyat Demokrasi Indonesia (LSM GARAD Indonesia) yang diketuai Achmad Anugrah, telah mengawal persoalan tersebut hingga mendapatkan ending (hasil akhir) yang jelas.
"Kami akan kawal hingga tuntas, mengingat warung yang digusur tersebut adalah sumber penghasilan mereka satu satunya untuk menghidupi anak anak mereka," ujar yang akrab dipanggil Achmad Garad tersebut.
Masih Achmad Garad, "ditelusuri dari riwayatnya serta apabila disondingkan dengan program PTSL, surat mereka ini sudah sangat bisa sekali untuk diajukan sebagai surat hak milik (SHM), itu artinya ada kepastian hukum yang jelas terkait status tanah, namun kenapa kok seolah dari pihak BPN Sidoarjo yang beberapa waktu lalu saat audiensi dengan Bupati kembali menjadi tanah negara," ungkap Achmad Garad.
"Ok, katakanlah dalam SK BPN ada masa kadaluarsanya karena dalam klausul di SK menyatakan deadline 3 bulan untuk penyelesian, termasuk administrasi dll, cuman yang menjadi pertanyaan besar kami dan saat ini sudah kami konfirmasikan melalui surat ke BPN bahwa apakah surat pengajuan untuk mendapatkan SK itu ikut gugur? itu yang hingga saat ini belum dijawab sama sekali oleh pihak BPN Sidoarjo, padahal sudah hampir satu bulan surat konfirmasi tersebut saya kirim," imbuhnya yang sempat kesal dan minta kepala BPN Sidoarjo Dicopot, karena dianggap gagal dalam melaksanakan reformasi birokrasi di tubuh lembaga yang dipimpinnya tersebut.
Karena hal itu, Pemkab Sidoarjo sepertinya melupakan apa yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, dimana waktu itu telah memerintahkan kepada jajaran kabinet segera menyelesaikan konflik lahan termasuk yang berada di dalam konsesi.
Dikutip dari berbagai sumber, Jokowi memberikan warning bahwa Jangan sampai, perusahaan swasta atau negeri jangan mudah mendapatkan izin, sedang warga yang tinggal di dalam atau sekitar kesulitan.
Bahkan, presiden juga telah perintahkan, jajaran pemerintahan mencabut konsesi kepada berbagai perusahaan kalau dalam pelaksanaan ada konflik lahan. Masih dikutip dari berbagai sumber, dimana dalam rapat terbatas di Kantor Presiden Jakarta, pada Jumat (3/5/19) lalu itu, Jokowi mengatakan, dalam kunjungan ke berbagai daerah maupun saat pembagian sertifikat, dia selalu menerima laporan mengenai konflik pertanahan, baik antar masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan BUMN, maupun dengan instansi pemerintahan.
“Sengketa-sengketa serupa itu tak hanya terjadi di satu-dua tempat, namun tersebar di banyak wilayah. Saya minta segera diselesaikan secepatnya, dituntaskan agar rakyat memiliki kepastian hukum. Ada rasa keadilan,” katanya dikutip dalam laman Presidenri.go.id.
Konsesi dari pemerintah ke perusahaan, katanya, harus mempertimbangkan keberlangsungan dan kepentingan masyarakat yang mendiami lahan itu sejak lama. Pemerintah, katanya, tak menginginkan ada praktik perusahaan begitu mudah mendapatkan izin, sementara masyarakat sekita kesulitan memanfaatkan lahan sekitar mereka.
“Konsesi yang diberikan kalau di tengahnya itu ada desa yang sudah bertahun-tahun hidup, kemudian menjadi bagian konsesi ya harus diberikan. Berikan kepada masyarakat desa itu kepastian hukum.” ujar Jokowi kala itu.
Kala itu, Jokowi juga sempat memerintahkan kepada menteri dan jajaran pemerintahan mencabut konsesi yang telah diberikan kepada berbagai perusahaan kalau dalam pelaksanaan ada konflik lahan.
“Kalau yang diberikan konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini, cabut seluruh konsesi. Tegas. Sudah jelas di situ sudah, ini hidup lama di situ malah kalah dengan konsesi baru yang baru diberikan,” katanya.
Menurut dia, pemerintah harus menomorsatukan rasa keadilan dan kepastian hukum. “Jangan sampai masyarakat yang sudah hidup lama di kawasan justru kalah oleh yang baru saja diberikan izin konsesi.” ungkapnya.
Untuk menangani masalah serupa itu di seluruh wilayah Indonesia, katanya, perlu ketegasan dan langkah sistematik. Dengan upaya tersistem itu, Jokowi berharap, penyelesaian sengketa tak hanya per kasus melainkan menyentuh seluruh persoalan dasar.
Jokowi menegaskan, kebijakan-kebijakan yang berimplikasi pada penataan dan penanggulangan sengketa pertanahan bisa terus jalan, seperti kebijakan satu peta dan percepatan penerbitan sertifikat untuk rakyat.
Kebijakan satu peta, katanya, sedang proses hendaknya bisa menyelesaikan berbagai persoalan konflik pertanahan. Selain itu, program sertifikasi dan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) juga bisa terlaksana.(tim)